Hereditas
dan Hukum Mendel
Pengertian
Hereditas dan Hukum Mendel (Percobaan Monohibrid, dan Dihibrid) - Hereditas adalah penurunan sifat dari induk kepada
keturunannya. Keturunan yang dihasilkan dari perkawinan antar individu
mempunyai perbandingan fenotip maupun genotip yang mengikuti aturan tertentu.
Aturan-aturan dalam pewarisan sifat ini disebut pola-pola hereditas.
Teori
pertama tentang sistem pewarisan yang dapat diterima kebenarannya dikemukakan
oleh Gregor Mendel pada 1865. Teori ini diajukan berdasarkan penelitian
persilangan berbagai varietas kacang kapri (Pisum sativum). Hasil percobaannya,
ditulis dalam makalah yang berjudul Experiment in Plant Hybridization.
Dalam
makalah tersebut, Mendel mengemukakan beberapa hipotesis mengenai pewarisan
material genetik dari tetua kepada anaknya, di antaranya adalah Hukum Segregasi
dan Hukum Perpaduan Bebas. Hukum Segregasi atau Hukum Mendel I menyatakan bahwa
dalam pembentukan sel gamet, pasangan alel akan memisah secara bebas.
Sedangkan, Hukum Perpaduan Bebas atau Hukum Mendel II menyatakan bahwa alel
dari lokus satu akan berpadu secara bebas dengan alel-alel dari lokus lainnya.
Orang
yang pertama kali melakukan percobaan tentang pewarisan sifat adalah Gregor
Mendel. Dia menyilangkan kacang kapri (pisum sativum) dengan memperhatikan satu
sifat beda yang mencolok, seperti kapri berbunga merah disilangkan dengan kapri
berbunga putih, kapri berbiji bulat disilangkan dengan kapri berbiji keriput.
Berdasarkan penelitian ini, Mendel merumuskan Hukum Mendel I dan Mendel II.
Mari cermati uraian berikut ini.
1. Percobaan Monohibrid dan Hukum Mendel I
Pada
percobaan monohibrid untuk tujuh sifat yang diamati pada tanaman kapri, Mendel
memperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 5.1 dan 5.2. Pada seluruh
tanaman F1, hanya ciri sifat dari salah satu tetuanya yang muncul, sedangkan
ciri sifat dari tetua yang lain tidak muncul. Sifat yang muncul pada F1,
misalnya biji bundar disebut sifat dominan. Sedangkan, sifat yang tidak muncul,
misalnya biji keriput disebut sifat resesif.
Pada
generasi F2, ciri-ciri yang dipunyai kedua tetua muncul kembali, misalnya biji
bundar dan biji keriput. Dari percobaan Mendel untuk seluruh sifat yang diamati
pada F2, terdapat perbandingan yang mendekati 3 : 1, antara ciri dominan dan resesif.
Dari
percobaan tersebut, Mendel menyimpulkan bahwa pada saat pembentukan gamet,
terjadi pemisahan bebas pasangan gen-gen yang dikandung oleh induk (parental)
sehingga setiap gamet memperoleh satu gen dari alelnya. Misalnya, induk Bb (F1)
menghasilkan gamet B dan b. Hal ini dikenal sebagai Hukum Segregasi atau Hukum
Mendel I. Kemudian, terjadi perkawinan antara induk jantan dan betina. Hal ini
menyebabkan gamet B dan b bergabung secara acak. Sehingga, dihasilkan F2 dengan
perbandingan fenotif 3 : 1. Untuk lebih memahami hukum Mendel I, mari cermati
percobaan monohibrid berikut ini.
2. Percobaan Dihibrid dan Hukum Mendel II
Percobaan
Mendel yang melibatkan dua sifat sekaligus disebut percobaan dihibrid. Dari
percobaan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembentukan gamet, setiap
pasang alel dalam satu lokus bersegregasi bebas dengan pasangan alel lokus
lainnya, dan akan berpadu secara bebas dengan alel dari lokus lainnya. Hukum
perpaduan bebas ini dirumuskan dari hasil observasi terhadap penyebaran fenotip
F2 persilangan dihibrid. Pada F2, Mendel memperoleh perbandingan fenotip 9 : 3
: 3 : 1.
Misalnya,
persilangan dengan dua sifat beda antara biji bundar kuning dengan keriput
hijau. Pada F1 diperoleh biji bundar kuning. Hal ini terjadi, karena setiap gen
dapat berpasangan secara bebas. Artinya, biji bundar dominan terhadap keriput,
dan kuning dominan terhadap hijau.
Persilangan
antara F1 menghasilkan keturunan F2 dengan perbandingan fenotip antara bulat
kuning : keriput kuning : bulat hijau : keriput hijau = 9 : 3 : 3 : 1. Untuk
lebih memahami, mari cermati Gambar berikut ini.
Penyimpangan
Semu Hukum Mendel (Kriptomeri, Polimeri, Epistasis dan Hipostasis) - Nisbah genotip maupun fenotip yang dihasilkan oleh
Mendel akan terpenuhi jika setiap sifat hanya ditentukan oleh alel dalam satu
lokus. Alel dalam setiap lokus bersegregasi bebas dengan lokus lain, dan
gen-gen terdapat pada inti.
Pada
kasus-kasus tertentu, perbandingan fenotip 9 : 3 : 3 : 1 tidak dipenuhi, tetapi
menghasilkan perbandingan fenotip yang berbeda, misalnya 9 : 3 : 4, 15 : 1,
atau 12 : 3 : 1. Munculnya perbandingan yang tidak sesuai ini disebut
penyimpangan semu hukum Mendel.
1.
Kriptomeri
Kriptomeri
merupakan interaksi komplementasi yang terjadi, karena munculnya hasil ekspresi
suatu gen yang memerlukan kehadiran alel tertentu pada lokus lain. Contoh
interaksi komplementasi ini, terjadi pada proses pembentukan warna bunga
Linaria maroccana. Warna bunga ditentukan oleh kandungan antosianin dan keadaan
pH sel. Kandungan antosianin pada bunga ditentukan oleh satu gen yang mempunyai
dua alel dominan resesif (Misal A dan a).
Tanaman
akan mengandung antosianin apabila mempunyai alel dominan A. Gen pada lokus
lain dapat menghasilkan senyawa yang menyebabkan sel berlingkungan asam atau
basa. Lingkungan asam basa sel ini dikendalikan oleh sepasang alel dominan
resesif pula (misalnya alel B dan b). Alel dominan B menyebabkan sitoplasma
bersifat basa, sedangkan alel resesif b membuat sitoplasma bersifat asam.
Pada
bunga Linaria maroccana terdapat tiga warna bunga yaitu merah, putih, dan ungu.
Jika bunga Linaria maroccana berbunga merah galur murni disilangkan dengan
bunga putih galur murni, maka akan diperoleh F1 yang semuanya berbunga ungu.
Jika sesama F1 disilangkan, maka akan menghasilkan fenotip dengan perbandingan
bunga ungu : merah : putih = 9 : 3 : 4
Dari hasil penyilangan di samping,
dapat disimpulkan bahwa:
a) Fenotip warna bunga ungu memiliki
pigmen antosianin dalam lingkungan basa dengan genotip A-B-.
b) Fenotip warna bunga merah
memiliki pigmen antosianin dalam lingkungan asam dengan genotip A-bb.
c) Fenotip warna bunga putih tidak
memiliki pigmen antosianin dengan genotip aabb.
2.
Polimeri
Polimeri
terjadi karena dua gen memproduksi bahan yang sama dan menghasilkan fenotip
yang sama. Contohnya adalah sifat warna merah pada gandum. Warna merah tersebut
dikendalikan oleh pasangan alel dominan resesif yang terdapat pada dua gen yang
berbeda lokus. Warna merah akan muncul apabila terdapat alel dominan di salah
satu atau kedua lokus.
Misalnya,
pasangan alel penghasil warna merah pada gambar adalah M1 dan m1, sedangkan pada
lokus lain juga terdapat pasangan alel M2 dan m2. Jika gandum berkulit merah
(homozigot dominan) disilangkan dengan gandum berkulit putih (homozigot
resesif), maka akan menghasilkan fenotip gandum berkulit merah semua. Bila F1
disilangkan sesamanya, akan dihasilkan gandum berkulit merah : berkulit putih =
15 : 1.
Dari tabel persilangan di samping
dapat disimpulkan bahwa dua pasang alel yang berlainan mempengaruhi sifat yang
sama, yaitu warna bunga. Pengaruh gen-gen yang mengendalikan warna merah (M1 dan
M2) bersifat kumulatif, artinya makin banyak jumlah gen, pengaruhnya makin
jelas.
3.
Epistasis dan Hipostasis
Epistasis dan hipostasis merupakan
interaksi yang berlangsung pada fenotip yang dihasilkan oleh dua gen. Kedua gen
bekerja menghasilkan fenotip yang berbeda, tetapi fenotip dari salah satu gen
yang dominan dapat menutupi penampakan dari fenotip yang dihasilkan oleh gen
dominan yang lain apabila kedua gen hadir bersama. Gen dominan yang menutupi
gen dominan yang lain disebut epistasis, sedangkan gen yang tertutupi disebut
hipostatis. Contoh peristiwa epistasis dan hipostasis pada tumbuhan adalah pada
warna sekam gandum.
Terdapat tiga warna sekam gandum,
yaitu hitam, kuning, dan putih. Pigmen hitam dan pigmen kuning dibentuk oleh
dua gen yang berbeda yang masing-masing dikendalikan oleh sepasang alel dengan
hubungan dominan resesif. Misalnya, pigmen kuning dikendalikan oleh alel K dan
k, dan pigmen hitam dikendalikan oleh alel H dan h. Jika gandum biji hitam
dominan homozigot dikawinkan dengan gandum biji kuning dominan homozigot, maka
hasil F1 adalah 100% gandum berkulit hitam. Sedangkan, pada F2 dihasilkan
gandum biji hitam : biji kuning : biji putih = 12 : 3 : 1.
Dari
persilangan di samping dapat diketahui bahwa semua kombinasi yang mengandung
faktor H, fenotipnya adalah hitam. Kombinasi yang mengandung faktor K tanpa
faktor H menampakkan warna kuning. Sedangkan, kombinasi dua faktor resesif,
yaitu genotip hhkk berfenotip putih.
Pautan,
Pindah Silang, dan Gagal Berpisah
Pada
proses meiosis I, saat kromosom bermigrasi ke kutub yang berlawanan, gen-gen
yang terletak pada kromosom yang sama akan berpautan dan bergerak bersama-sama
ke arah kutub yang sama pula. Pautan antarlokus ini terjadi akibat lokus
gen-gen terletak pada satu kromosom dan berjarak dekat antara satu dengan yang
lainnya.
Jumlah
pautan ini sesuai dengan jumlah pasangan kromosom dan panjangnya kromosom.
Gengen yang berhimpit dan berdekatan lokusnya cenderung berpautan. Penyimpangan
terhadap Hukum Perpaduan Bebas dapat disebabkan karena keterpautan antarlokus.
Hal ini berarti segregasi alel pada suatu lokus berpengaruh terhadap segregasi
alel pada lokus yang lain.
Jika 4 alela terletak pada pasangan
kromosom yang sama.
Fenotip tetua: abu-abu, sayap
panjang >< hitam, sayap pendek
2.
Pindah Silang
Pindah
silang adalah pertukaran segmen antara dua kromosom homolog. Peristiwa ini
berlangsung pada saat kromosom homolog berpasangan dalam profase I meiosis,
yaitu pada saat pakiten. Pakiten merupakan saat seluruh bagian kromosom
berpasangan pada jarak yang paling dekat. Titik kontak dari kromosom-kromosom
yang bersentuhan dinamakan kiasma. Pindah silang akan menghasilkan kromosom
rekombinan yang merupakan hasil penyeberangan fragmen-fragmen kromosom ke
kromosom homolog tetangganya. Pautan gen dapat dipisahkan oleh peristiwa pindah
silang pada semua titik sepanjang kromosom.
Jika terjadi pindah silang.
Fenotip tetua: abu-abu sayap panjang
>< hitam sayap pendek
genotip rekombinan
genotip keseluruhan
Dalam suatu eksperimen diperoleh
keturunan sebagai berikut.
Fenotip tetua berbadan abu-abu sayap
panjang : 965
berbadan hitam sayap pendek : 944
Fenotip rekombinan berbadan hitam
sayap panjang : 206
berbadan abu-abu sayap pendek : 185
Kemungkinan
pindah silang dan rekombinasi kromosom berbanding lurus dengan jarak antara dua
gen yang terpisah. Misalnya jarak antara gen O dan P tiga kali lipat jarak
antara gen R dan S. Hal ini berarti, pemisahan pautan antara gen O dan P
melalui pindah silang tiga kali lebih besar daripada pindah silang antara gen R
dan S. Jadi semakin jauh jarak antargen yang memperbesar kemungkinan pindah
silang. Frekuensi pindah silang dapat dihitung sebagai berikut:
3.
Gagal Berpisah
Pada
saat pembentukan gamet (pembelahan meiosis), kromosom dapat mengalami gagal
berpisah sehingga jumlah kromosom menjadi berubah. Kromosom dapat gagal
berpisah dengan kromosom homolognya pada saat meiosis I. Selain itu, kromatid
dalam satu kromosom juga dapat gagal berpisah pada saat meiosis II. Perbedaan
kedua peristiwa gagal berpisah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gagal
berpisah dapat mengakibatkan gamet atau individu yang baru lahir mempunyai
kelainan jumlah kromosom. Contoh akibat gagal berpisah adalah aneuploidi dan
poliploidi. Aneuploidi adalah individu yang memiliki kekurangan atau kelebihan
satu kromosom dari kromosom tetuanya.
Aneuploidi
mengakibatkan perubahan fenotip pada individu, misalnya individu yang mempunyai
kromosom monosomi (2n – 1) atau trisomi (2n + 1). Sedangkan, poliploidi adalah
individu yang mempunyai kelipatan jumlah kromosom tetuanya. Poliploidi misalnya
gamet diploid bertemu dengan gamet haploid menjadi triploid (3n), atau dua
gamet diploid bersatu membentuk individu tetraploid.
Penentuan
Jenis Kelamin (Kromosom Seks, Tingkat Ploidi dan Lingkungan) - Hampir semua makhluk hidup mempunyai pemisahan jenis
seks jantan atau betina yang berarti satu organisme hanya membawa satu jenis
organ seks. Jenis kelamin makhluk hidup ditentukan oleh kromosom seks, tingkat
ploidi, dan lingkungan. Mari cermati uraian berikut ini.
Pada
hewan tingkat tinggi terdapat dua sistem penentuan jenis seks dengan kromosom,
yaitu heterogametik jantan dan heterogametik betina. Heterogametik ialah dalam
satu individu terdapat dua jenis kromosom seks yang berbeda. Sedangkan,
homogametik berarti suatu individu mempunyai dua kromosom seks yang sama. Pada
sistem heterogametik jantan, kromosom seks diberi tanda dengan X dan Y,
sedangkan pada heterogametik betina diberi tanda dengan Z dan W.
Pada
homogametik, organisme betina akan mengandung dua kromosom seks yang sama,
yaitu XX, sedangkan individu jantan akan membawa dua kromosom yang berbeda,
yaitu XY atau hanya satu kromosom X (XO). Organisme betina yang mempunyai
kromosom XX, misalnya manusia, belalang, dan Drosophila melanogaster. Contoh
organisme yang mempunyai jantan XY adalah Drosophila melanogaster dan manusia,
sedangkan belalang jantan adalah XO. Golongan hewan unggas, ngengat dan
kupu-kupu memiliki sistem heterogametik betina, yaitu betina berkromosom ZW.
Sedangkan, jantan memiliki kromosom ZZ.
2.
Tingkat Ploidi
Pada
insekta ordo Hymenoptera termasuk di dalamnya lebah dan semut. Perbedaan jantan
dan betina ditentukan oleh perbedaan tingkat ploidi. Lebah jantan memiliki
jumlah kromosom haploid, sedangkan yang betina diploid. Lebah betina berasal
dari sel telur yang dibuahi, sedangkan sel telur yang tidak dibuahi akan
berkembang menjadi lebah jantan. Lebah jantan membentuk gamet melalui proses
mitosis, sedangkan yang betina melalui meiosis.
3.
Lingkungan
Semua
organisme mempunyai gen yang diperlukan untuk membentuk sistem reproduksi
jantan maupun betina. Salah satu contoh tentang keluwesan perkembangan seks ini
terdapat pada cacing laut Bonellia viridis. Bonellia betina mempunyai badan
seperti kacang dengan proboscis yang ramping panjang sekitar satu inci. Cacing
jantan bertubuh lebih kecil sebesar protozoa hidup sebagai parasit pada saluran
reproduksi betina. Saat reproduksi, telur yang telah dibuahi dilepas ke air dan
berkembang menjadi larva yang dapat berenang dengan bebas.
Larva-larva
berada di sekitar Bonellia dewasa dan dirangsang untuk menempel pada proboscis
betina terdekat. Larva-larva yang bersentuhan dengan proboscis berkembang
menjadi cacing jantan dan kemudian bergerak masuk ke dalam uterus betina.
Sedangkan, larva-larva yang lain akan membenamkan diri dalam pasir dan
berkembang menjadi cacing betina dewasa.
Pautan
Seks (Warna Mata Drosophila melanogaster
dan Hemofilia) - Ada suatu sifat individu yang khas dan hanya dimiliki
oleh betina saja atau jantan saja. Hal ini terjadi karena gen-gen terpaut pada
kromosom seks X atau Y. Peristiwa ini dinamakan pautan seks. Pautan seks
menunjukkan adanya pewarisan sifat oleh gen yang terdapat pada kromosom seks.
Mari cermati uraian berikut ini:
1.
Warna Mata pada Drosophila melanogaster
Morgan
(1910) menunjukkan dengan jelas keterkaitan gen pengendali warna mata pada
lalat buah (Drosophila melanogaster) dengan segregasi kromosom seks. Pada
pembastaran lalat jantan bermata putih dengan lalat betina bermata merah, pada
keturunan F1 semua bermata merah. Jadi, sifat mata putih bersifat resesif
karena tidak muncul pada F1. Ketika dibastarkan F1 dengan sesamanya, warna mata
putih tidak ada pada betina, tetapi hanya pada jantan. Dari hasil ini, Morgan
menyimpulkan bahwa alel pengendali warna merah dominan terhadap alel warna
putih dan alel-alel tersebut hanya terdapat pada kromosom X, tidak ada pada
kromosom Y.
2.
Hemofilia
Hemofilia
merupakan penyakit terpaut seks yang muncul dalam keadaan resesif. Orang yang
menderita hemofilia tidak dapat membentuk faktor pembeku darah. Gen pengontrol
faktor pembeku darah ada pada kromosom X dan dalam bentuk dua alel yaitu XH
(dominan) dan Xh (resesif). Kemungkinan genotip dan fenotip adalah sebagai
berikut:
Semua
wanita yang bergenotip heterozigot adalah pembawa sifat. Jika wanita tersebut
menikah dengan pria normal, maka ada kemungkinan anak laki-laki dari
keturunannya menderita hemofilia. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Demikianlah Materi Pautan Seks
(Warna Mata Drosophila melanogaster dan Hemofilia),
Gen
Letal Dominan dan Resesif
- Gen yang dapat menimbulkan kematian suatu individu disebut gen letal.
Kematian dapat terjadi baik pada awal perkembangan individu, embrio, setelah
lahir, atau menjelang dewasa. Gen letal dibedakan menjadi dua, yaitu letal
dominan dan letal resesif. Untuk lebih mengetahui, mari cermati uraian berikut
ini.
1.
Letal Dominan
Pada
letal dominan, individu akan mati apabila memiliki gen homozigot dominan.
Contoh gen letal terdapat pada gen yang menyebabkan tikus berambut kuning
homozigot dominan (KK) mati sebelum lahir. Kematian sebelum lahir akan mengubah
perbandingan jumlah fenotip keturunan.
Jika
tikus berambut kuning heterozigot (Kk) dikawinkan dengan tikus kuning
heterozigot pula, maka akan menghasilkan keturunan lebih sedikit atau 25% lebih
kecil dari jumlah keturunan berambut kuning dengan berambut tidak kuning.
Diagram persilangannya dapat digambarkan sebagai berikut
2.
Letal Resesif
Pada
letal resesif, individu akan mati jika mempunyai gen homozigot resesif,
contohnya tumbuhan albino dan ekor pendek mencit. Tumbuhan albino tidak
mempunyai klorofil. Misalnya, klorofil dikendalikan oleh gen A, maka tumbuhan
berklorofil memiliki gen AA, sedangkan tumbuhan albino memiliki gen aa.
Tumbuhan albino muncul dari persilangan heterozigot Aa dengan Aa. Untuk lebih
memahami, mari cermati diagram di bawah ini.
Pada
manusia terdapat gen letal, misalnya pada penderita sicklemia (eritrosit
berbentuk bulan sabit) dan talasemia (eritrosit berbentuk lonjong, ukurannya
kecil, dan jumlahnya lebih banyak).
Hereditas pada Manusia (Gangguan Mental, Buta Warna, Albino dan Pewarisan Golongan Darah)
Hereditas pada Manusia (Gangguan Mental, Buta Warna, Albino dan Pewarisan Golongan Darah) - Sifat-sifat manusia diturunkan kepada keturunannya mengikuti pola pewarisan tertentu. Hal ini dapat dipelajari dengan menggunakan peta silsilah keluarga. Sifat-sifat yang dapat diwariskan dari tetua kepada keturunannya, misalnya cacat (abnormalitas).
1. Cacat dan Penyakit Menurun
Pada umumnya, cacat atau penyakit
menurun secara genetik bersifat relatif, sehingga muncul apabila genotipnya
dalam keadaan homozigot. Cacat atau penyakit menurun ini tidak akan terjadi
jika individu memiliki genotip heterozigot, karena gen yang membawanya
tertutupi oleh gen pasangannya dominan.
Cacat atau penyakit menurun tidak dapat disembuhkan atau ditularkan karena kelainan ada pada bagian substansi hereditas yang disebut gen. Walaupun gangguan genetik ini tidak dapat disembuhkan, tetapi dalam beberapa hal konsekuensi fenotipnya dapat dibatasi. Tindakan penyembuhan dapat dilakukan dengan diet, penyesuaian lingkungan, pembedahan, kemoterapi, maupun rekayasa genetika.
Cacat atau penyakit menurun tidak dapat disembuhkan atau ditularkan karena kelainan ada pada bagian substansi hereditas yang disebut gen. Walaupun gangguan genetik ini tidak dapat disembuhkan, tetapi dalam beberapa hal konsekuensi fenotipnya dapat dibatasi. Tindakan penyembuhan dapat dilakukan dengan diet, penyesuaian lingkungan, pembedahan, kemoterapi, maupun rekayasa genetika.
Beberapa contoh penyakit keturunan
adalah gangguan mental, cacat buta warna, dan albino. Untuk lebih mengetahui
tentang penyakit turunan tersebut. Mari cermati uraian berikut ini.
a. Gangguan mental
Gangguan mental karena keturunan
bermacam-macam jenis dan penyebabnya. Salah satu contohnya adalah fenilketonia
(FKU) yang disebabkan oleh kegagalan tubuh mensintensis enzim yang mengubah
fenilalanin menjadi tiroksin. Di dalam darah penderita mengandung senyawa yang
tinggi. Kandungan senyawa dari fenilalanin ini adalah asam fenilpiruvat yang
dapat merusak sistem saraf sehingga menimbulkan gangguan mental.
Kelainan
mental ini dikendalikan oleh gen yang mengatur pembentukan protein enzim.
Penderita memiliki pasangan alel gen-gen relatif homozigot yang diwariskan oleh
kedua orang tua heterozigot yang penampakannya normal. Misalnya, alel relatif
yang bertanggung jawab terhadap cacat ini, dilambangkan dengan a, dan alel
dominan pasangannya A, maka persilangannya sebagai berikut:
b. Cacat buta warna
Cacat
buta warna bermacam-macam, yaitu buta warna total dan buta warna sebagian.
Penderita buta warna tidak dapat melihat warna tertentu, misalnya warna hijau,
merah atau semua warna kecuali hitam putih. Yang paling umum adalah buta warna
merah-hijau. Penderita buta warna ini tidak dapat membedakan warna merah dan
hijau. Untuk mengetahui seseorang menderita buta warna merah-hijau atau tidak
dapat menggunakan kartu uji penglihatan ishihara. Mari perhatikan Gambar
disamping.
Cacat
ini diturunkan oleh kedua orang tuanya yang normal. Faktor gen buta warna
terpaut pada kromosom sex X. Apabila dalam pasangan alel dengan kromosom X yang
normal, maka cacat buta warna tidak akan terjadi, tetapi bila berpasangan
dengan kromosom y, maka laki-laki akan menderita buta warna.
Contoh persilangannya
sebagai berikut.
Jadi,
perkawinan antara wanita karier dengan laki-laki normal menghasilkan keturunan
wanita dan laki-laki normal 150%, wanita karier 25%, dan laki-laki buta warna
25%.
c. Albino
Orang
albino memiliki rambut, mata, bulu mata, dan kulit berwarna putih. Hal ini
disebabkan karena penderita albino tidak memiliki pigmen warna melanin. Warna
melanin ada yang hitam, cokelat, kuning atau putih. Penderita albino tidak
memiliki pigmen ini karena tidak dapat menghasilkan enzim pembentuk melanin.
Gen albino bersifat resesif dan terletak
pada autosom (kromosom tubuh) sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat
menderita albino. Seseorang menderita albino jika gennya dalam keadaan
homozigot resesif. Jadi, sifat tersebut di peroleh dari orang tuanya yang
menderita albino atau karier.
Contoh persilangannya
adalah sebagai berikut:
2. Pewarisan Golongan Darah pada Manusia
Golongan
darah dapat diwariskan dari orang tua kepada turunannya. Golongan darah pada
manusia dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu golongan darah ABO, golongan
darah MN, dan Rhesus.
a. Golongan darah ABO
Golongan
darah manusia dapat ditentukan berdasarkan ada atau tidak adanya antigen
(aglutinogen) dan antibodi (aglutinin). Untuk mengetahui golongan darah
manusia, mari cermati Tabel 5.6 dan 5.7 di bawah ini.
Gen
penentu golongan darah terletak pada kromosom autosom dan diberi simbol I
(Isohemaglutinogen) sehingga alelalelnya disimbolkan, IA menghasilkan antigen
A, IB menghasilkan antigen B, dan IO yang tidak menghasilkan antigen.
Dari
tabel di atas dapat diketahui bahwa golongan darah dapat bergenotip homozigot
atau heterozigot. Contohnya, orang yang bergolongan darah A heterozigot menikah
dengan golongan darah B heterozigot. Persilangannya dapat digambarkan sebagai
berikut:
Jika
seseorang mempunyai genotip IAIO, maka pada membran sel darah merah akan muncul
aglutinogen A, sementara plasma darahnya mengandung aglutinin β. Darah akan
menggumpal jika orang yang mempunyai anti B diberi golongan yang mengandung
aglutinogen (antigen) B. Golongan darah O dapat diberikan kepada semua golongan
darah, karena darahnya tidak mengandung antigen A ataupun B yang dapat
menggumpalkan darah penerimanya. Sedangkan, golongan darah AB, dapat menerima
darah dari golongan darah A, B, AB, atau O karena di dalam darahnya tidak
terdapat aglutinin anti A maupun anti B. Dengan demikian, golongan darah O
disebut donor universal, sedangkan golongan darah AB disebut resipien
universal.
b. Golongan darah MN
Penggolongan darah MN didasarkan pada
ada tidaknya antigen dalam sel darah merah seseorang. Apabila seseorang
bergolongan darah M, artinya di dalam darahnya mengandung antigen M, sedangkan
orang yang di dalam sel darah merahnya mengandung antigen N, maka orang
tersebut bergolongan darah N.
Jadi, orang yang bergolongan darah MN
dalam sel darah merahnya mengandung antigen M dan N sehingga orang tersebut
bergolongan darah MN. Pengelompokan golongan darah MN tidak terikat pada
golongan darah ABO. Dengan demikian, orang yang bergolongan darah M, N, atau MN
terdapat sama banyak pada golongan darah A, B, AB, atau O.
Menurut para ahli, golongan darah MN
ditentukan oleh gen yang mengandung dua alel. Satu alel menentukan faktor M dan
yang lainnya menentukan faktor N. Jadi, orang yang bergenotip MM akan
bergolongan darah M, golongan darah N mempunyai genotip NN, sedangkan golongan
darah MN berarti mempunyai genotip MN.
Berikut ini digambarkan contoh
perkawinan individu-individu menurut golongan darah MN. Mari cermati.
Jadi,
menurut diagram di atas, jika orang yang bergolongan darah N menikah dengan
orang yang bergolongan darah M, maka akan menghasilkan keturunan 100% golongan
darah MN. Sedangkan, orang yang bergolongan darah MN dikawinkan dengan orang
yang bergolongan daran N atau M, maka akan menghasilkan keturunan 50% golongan
darah mndan 50% golongan darah N atau M. Serum (antibodi) manusia tidak
mereaksi antigen M dan N sehingga tidak menimbulkan penggumpalan darah.
Antibodi M dan N dapat dibuat dengan menyuntikkan darah manusia ke tubuh
kelinci.
c. Golongan darah Rhesus
Pada
golongan darah rhesus ditentukan oleh ada tidaknya faktor rhesus (antigen Rh)
pada sel darah seseorang. Golongan darah rhesus ini pertama kali ditemukan
dalam darah kera (Rhesus macacus). Seseorang yang mengandung antigen Rh pada
eritrositnya disebut Rh+ (Rhesus positif), sedangkan yang tidak mempunyai
antigen rhesus disebut Rh– (Rhesus negatif). Seseorang yang mengandung antigen
rhesus pada darah merahnya (Rh+) tidak dapat membentuk antibodi yang melawan
antigen Rh–. Antibodi terhadap rhesus akan terbentuk pada orang yang
bergolongan darah (Rh–).
Jadi,
jika orang bergolongan darah Rh– diberi transfusi darah dari orang bergolongan
darah Rh+, maka pada darah penerima tersebut akan membentuk antibodi yang
melawan antigen rhesus.
Contoh lainnya adalah pada ibu yang
bergolongan darah Rh– mengandung bayi mengandung bayi yang bergolongan darah
Rh+. Di dalam tubuh ibu akan membentuk antibodi (anti Rh+) yang melawan darah
bayi yang mengandung antigen Rh+ Anak pertama biasanya selamat.
Tetapi,
jika ibu mengandung anak kedua yang bergolongan darah Rh– kembali, maka
antibodi yang sudah terbentuk dalam tubuh ibu akan menggumpalkan darah bayinya
sehingga bayinya mengalami eritroblastosis fetalis.
Mutasi Gen dan Mutasi Kromosom
Mutasi
Gen dan Mutasi Kromosom - Mutasi adalah suatu perubahan
yang terjadi pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan ekspresinya.
Perubahan bahan genetik dapat terjadi pada tingkat pasangan basa, tingkat satu
ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom.
Peristiwa
terjadinya mutasi disebut mutagenesis. Sedangkan, individu yang mengalami
mutasi sehingga menghasilkan fenotip baru disebut mutan. Faktor yang menyebabkan
mutasi disebut mutagen. Untuk lebih mengetahui tentang mutasi, mari cermati
uraian di bawah ini.
1. Mutasi Gen (Mutasi Titik)
Mutasi
gen atau mutasi titik adalah mutasi yang terjadi karena perubahan pada satu
pasang basa DNA suatu gen. Perubahan DNA menyebabkan perubahan kodon-kodon RNA
d, yang akhirnya menyebabkan perubahan asam amino tertentu pada protein yang
dibentuk. Perubahan protein atau enzim akan menyebabkan perubahan metabolisme
dan fenotip organisme. Besar kecilnya jumlah asam amino yang berubah akan
menentukan besar kecilnya perubahan fenotip pada organisme tersebut. Ada dua
mekanisme mutasi gen, yaitu subtitusi pasangan basa dan penambahan atau
pengurangan pasangan basa.
a. Subtitusi pasangan basa
Subtitusi pasangan basa ialah pergantian
satu pasang nukleotida oleh pasangan nukleotida lainnya. Subtitusi pasangan
basa ada dua macam, yaitu transisi dan tranversi. Transisi adalah penggantian
satu basa purin oleh basa purin yang lain, atau penggantian basa pirimidin
menjadi basa pirimidin yang lain. Transisi sesama basa purin, misalnya basa
adenin diganti menjadi basa guanin atau sebaliknya. Sedangkan, transisi sesama
basa pirimidin, misalnya basa timin diganti oleh basa sitosin atau sebaliknya.
Tranversi adalah penggantian basa purin
oleh basa pirimidin, atau basa pirimidin oleh basa purin. Tranversi basa purin
oleh basa pirimidin, misalnya basa adenin atau guanin diganti menjadi basa
timin atau sitosin. Tranversi basa pirimidin oleh basa purin, misalnya basa
timin atau sitosin menjadi basa adenin atau guanin.
Subtitusi
pasangan basa ini kadang-kadang tidak menyebabkan perubahan protein, karena
adanya kodon sinonim (kodon yang terdiri atas tiga urutan basa yang berbeda,
tetapi menghasilkan asam amino yang sama). Misalnya, basa nitrogen pada DNA
adalah CGC menjadi CGA sehingga terjadi perubahan kodon pada RNA-d dari GCG
menjadi GCU. Sedangkan, asam amino yang dipanggil sama, yaitu arginin.
b. Penambahan atau pengurangan pasangan basa
Mutasi gen yang lain adalah perubahan
jumlah basa akibat penambahan atau pengurangan basa. Penambahan atau
pengurangan basa pada DNA dapat menyebabkan perubahan sederetan kodon RNA-d
yang terdapat di belakang titik perubahan tersebut, berarti juga akan terjadi
perubahan asam amino yang disandikan melalui RNA-d tersebut. Akibat lain dari
penambahan atau pengurangan basa adalah terjadinya pergeseran kodon akhir pada
RNA-d.
Pergeseran kodon akhir menyebabkan
rantai polipeptida mutan menjadi lebih panjang atau lebih pendek. Mutasi ini
disebut juga mutasi ubah rangka karena menyebabkan perubahan ukuran pada DNA
maupun polipeptida.
Mutasi
ubah rangka ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penambahan basa (adisi) dan
pengurangan basa (delesi).
Mutasi karena penambahan basa, misalnya
basa DNA awalnya AGC-GTC menjadi TAG-CGT-C… . Sedangkan, jika basa DNA tersebut
mengalami pengurangan basa maka urutannya menjadi GCG-TC... . Penambahan atau
pengurangan basa dapat terjadi di bagian awal, di tengah, atau di akhir.
2. Mutasi Kromosom
Selain terjadi pada tingkat gen, mutasi
juga dapat terjadi pada tingkat kromosom, atau disebut juga aberasi kromosom.
Mutasi kromosom ini mengakibatkan
perubahan sejumlah basa yang berdampingan pada rantai DNA atau perubahan
runtunan nukleotida dalam suatu ruas gen sehingga akibat yang ditimbulkan pada fenotip
individu menjadi lebih nyata.
Mutasi
kromosom dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mutasi yang diakibatkan oleh
perubahan struktur kromosom karena hilang atau bertambahnya segmen kromosom,
dan perubahan jumlah kromosom. Mutasi kromosom ini biasanya diakibatkan oleh
kesalahan pada waktu meiosis melalui peristiwa pautan, pindah silang, atau
gagal berpisah.
a. Perubahan struktur kromosom
Perubahan
struktur kromosom merupakan penataan kembali struktur kromosom akibat
terjadinya delesi, duplikasi, inversi, dan translokasi kromosom.
1) Delesi kromosom
Delesi adalah mutasi akibat hilangnya
dua atau lebih nukleotida yang berdampingan. Apabila rangkaian basa yang hilang
merupakan suatu ruas yang lebih kecil dari panjang gen, maka gen tersebut akan
bermutasi, tetapi bila rangkaian nukleotida yang hilang lebih besar dari ruas
suatu gen, maka gen tersebut akan hilang dari kromosom.
Contoh delesi kromosom terjadi pada
kromosom X Drosophila melanogaster yang berukuran lebih pendek. Mutan ini
bersifat resesif dan letal, dapat hidup hanya dalam bentuk heterozigot.
2) Duplikasi kromosom
Duplikasi adalah mutasi yang terjadi
karena penambahan ruas kromosom atau gen dengan ruas yang telah ada sebelumnya.
Sehingga, terjadi pengulangan ruas-ruas DNA dengan runtunan basa yang sama yang
mengakibatkan kromosom mutan lebih panjang.
Contoh perubahan fenotip akibat proses
duplikasi adalah gen bar pada Drosophila melanogaster. Penambahan gen pada
kromosom lalat buah ini mengakibatkan peningkatan enzim tertentu yang
menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme.
3) Inversi kromosom
Inversi adalah penataan kembali struktur
kromosom yang terjadi melalui pemutaran arah suatu ruas kromosom sehingga
kromosom mutan mempunyai ruas yang runtunan basanya merupakan kebalikan dari
runtunan basa kromosom liar. Misalnya pada satu ruas kromosom terdapat urutan
ruas ABCDEF, setelah inversi diperoleh ruas AEDCBF. Jadi, terjadi pemutaran
ruas BCDE.
Inversi dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu: inversi parasentrik dan inversi perisentrik. Inversi parasentrik, yaitu
bila sentromer berada di luar ruas yang terbalik. Dan inversi perisentrik,
yaitu bila sentromer terdapat dalam segmen yang berputar.
4) Translokasi kromosom
Translokasi
adalah mutasi yang terjadi akibat perpindahan ruas DNA (segmen kromosom) ke
tempat yang baru, baik dalam satu kromosom atau antarkromosom yang berbeda.
Bila terjadi pertukaran ruas antarkromosom, disebut translokasi resiprok.
Sedangkan, translokasi tidak resiprok adalah berpindahnya segmen kromosom ke
kromosom yang lain tanpa pertukaran sehingga kromosom menjadi lebih panjang.
b. Perubahan jumlah kromosom
Makhluk hidup dalam satu spesies
memiliki jumlah kromosom yang sama, sedangkan pada spesies yang berbeda
memiliki jumlah kromosom yang berbeda pula. Jumlah kromosom tersebut dapat
berbeda dalam satu spesies karena terjadi mutasi. Perubahan jumlah kromosom
tersebut biasanya terjadi pada waktu terjadinya meiosis pada saat terjadi
pindah silang atau gagal berpisah.
Ada dua jenis perubahan jumlah kromosom,
yaitu aneuploidi (penambahan atau pengurangan satu atau beberapa kromosom pada
satu ploidi) dan euploidi (penambahan atau kehilangan keseluruhan kromosom
dalam satu ploidi).
1) Aneuploidi
Organisme aneuploidi adalah organisme
yang jumlah kromosomnya terdapat penambahan atau kehilangan satu atau beberapa
kromosom pada genomnya. Yang banyak ditemui adalah individu dengan penambahan
atau pengurangan satu kromosom. Dengan penambahan satu kromosom (2n + 1), maka
dalam inti akan ada satu nomor kromosom dengan tiga homolog (trisomi), sedangkan
nomor yang lainnya tetap mengandung dua kromosom.
Kebalikannya, melalui
pengurangan satu kromosom (2n – 1) akan dihasilkan individu monosomi, yaitu
yang mengandung hanya satu kromosom tanpa pasangan homolognya. Aneuploidi
terbentuk karena adanya ketidakseimbangan segregasi kromosom dalam proses
meiosis.
Kegagalan
segregasi yang terjadi pada meiosis I apabila dua kromosom homolog bergerak ke
kutub yang sama sehingga menghasilkan dua sel dengan dua kromosom dan dua sel
tanpa kromosom. Sedangkan, pada meiosis II, dua kromosom bersaudara pada satu
kromatid tidak berpisah menuju kutub yang berbeda sehingga menghasilkan dua sel
normal, satu sel dengan dua kromosom, dan satu sel tanpa kromosom.
Pada manusia terdapat berbagai kasus
trisomi atau monosomi baik pada autosom atau kromosom seks yang menyebabkan
munculnya berbagai sindrom kelainan fisik dan mental. Pada Tabel 5.8
diperlihatkan berbagai aneuploidi pada manusia dengan sindrom penyakit yang
ditimbulkannya.
2) Euploidi
Euploidi ialah perubahan jumlah kromosom
pada tingkat ploidi atau genom sehingga jumlah kromosom merupakan kelipatan
jumlah kromosom pada satu genom. Misalnya adalah jumlah kromosom pada sel
adalah haploid, maka euploidi yang mungkin muncul adalah kromosom yang
berjumlah n (monoploid), 2n (diploid), 3n (triploid), 4n (tetraploid), dan
seterusnya.
Keragaman tingkat ploidi banyak
ditemukan pada tumbuhan yang berhubungan dengan evolusi spesies-spesies. Pada
hewan dikenal adanya tingkat ploidi yang berhubungan dengan penentuan jenis
seks. Contohnya, lebah madu berkromosom monoploid, sedangkan yang betina
diploid.
Jika
makhluk diploid dianggap sebagai makhluk normal, dan sebagian besar merupakan
organisme eukariot, maka euploid lain merupakan hasil mutasi diploid. Menurut
kelipatan jumlah kromosom pada satu genom, dibedakan sebagai berikut:
(a) Monoploid (n);
(b) Diploid (2n);
(c) Poliploidi (3n, 4n,
dan seterusnya).
Poliploidi ialah proses peningkatan
jumlah ploidi menjadi lebih tinggi dari diploid, yaitu triploid, tetraploid,
dan seterusnya.
Pada tumbuhan ditemukan banyak spesies
yang dibedakan oleh tingkat ploidi, misalnya kentang, gandum, dan pisang.
Terdapat dua kelompok poliploidi, yaitu autopoliploid dan alopoliploid.
Autopoliploid ialah penggandaan ploidi dengan penggabungan genom-genom yang
sama. Sedangkan, alopoliploid ialah penggandaan kromosom melalui penggabungan
genom-genom yang berbeda.
c. Faktor penyebab mutasi
Perubahan
bahan genetik, baik mutasi tingkat gen maupun mutasi kromosom dapat terjadi
secara alami atau buatan. Mari cermati uraian berikut ini.
1) Mutasi alami
Mutasi
alami dapat terjadi akibat kesalahan secara acak yang berlangsung dalam proses
replikasi, saat pembelahan sel, atau karena adanya unsur dalam material genetik
yang dapat berubah secara acak.
Mutasi terjadi secara lambat,
kemungkinan terjadinya mutasi di alam, kira-kira satu di antara satu juta
sampai satu milyar kejadian. Faktor luar yang secara alami merangsang
terjadinya mutasi adalah sinar-sinar kosmis dari luar angkasa, sinar radioaktif
yang terdapat di alam, dan sinar ultraviolet.
Mutasi yang terjadi secara alami ini
biasanya bersifat merugikan bagi makhluk hidup yang mengalaminya dan sering
tidak mampu bertahan hidup karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Tetapi, jika ada yang dapat bertahan
hidup dan mewariskan sifat-sifat barunya kepada keturunannya, maka keturunan
tersebut menjadi varietas baru. Individu baru ini, dapat menjadi spesies baru
dalam beberapa ratusan generasi. Spesies baru yang terbentuk akibat adanya mutasi
secara alami ini merupakan salah satu mekanisme evolusi biologi.
2) Mutasi buatan
Peristiwa
mutasi alami terjadi sangat lambat. Oleh karena itu, manusia melakukan
perubahan materi genetik yang sengaja dibuat untuk kepentingannya. Mutagen yang
dapat dipakai untuk merangsang mutasi adalah:
(a) Bahan fisik,
misalnya berbagai gelombang cahaya pada sinar matahari, seperti ultraviolet,
infra merah, dan sinar-sinar radioaktif seperti sinar α, β, dan γ.
(b) Bahan kimia, antara
lain etil metan sulfonat (EMS), etiletan sulfonat (EES), dan hidroksilamin
(HA).
(c) Bahan biologis yang
merupakan bahan mutakhir digunakan ialah elemen loncat.
Selain mutagen di atas, suhu yang tinggi
dan virus juga merupakan mutagen. Sinar X menyebabkan mutasi kromosom dengan
cara memutus kromosom menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian ini dapat hancur
atau bergabung dengan kromosom lain.
Peristiwa ini menyebabkan mutasi gen
atau mutasi kromosom. Sifat sinar X ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan
mutan tumbuhan maupun hewan agar mempunyai sifat yang lebih baik untuk
keuntungan manusia. Hasil mutasi buatan dari radiasi sinar X, antara lain:
bibit unggul padi kultivar atomita I dan II, kedelai kultivar Muria, dan tomat
kultivar Boutset.
Pemberian bahan kimia kolkisin dapat
menghambat kerja mikrotubulus sehingga pemisahan kromatid pada fase anafase
tidak terjadi dan mengakibatkan poliploidi. Hal ini dimanfaatkan untuk
menghasilkan buah tanpa biji, misalnya semangka.